gombal
dengan kaus oblong putih dan celana hitam pendek, hiru membuka gerbang dengan malas.
tubuhnya loyo sehabis menangis selama kurang lebih empat jam. mukanya merah, matanya sembab, rambutnya dibiarkan acak acakan.
setelah berhasil membukakan gerbang untuk sang kekasih—yang tidak tau diri, bertamu jam tujuh malam—tanpa mengucapkan sepatah kata, hiru langsung membawa tungkainya untuk berbalik dan kembali ke dalam rumahnya.
mara yang melihat punggung sempit hiru menjauh, mengangkat sudut bibirnya tipis. dengan tergesa, ia melajukan motornya untuk parkir di pekarangan rumah hiru.
“maaf bunda belom beli susu lagi.” ucap hiru setelah meletakkan segelas teh manis hangat ke hadapan mara. yang diberi teh hanya mampu tersenyum menatap si pemberi.
“makasih ya”
setelah itu, keheningan melanda keduanya. hingga sebuah isakan terdengar dari belah bibir hiru. mara panik, pasalnya ia sedari tadi diam, ia juga tidak sedang menjahili hiru, tapi kenapa hiru menangis?
“kak.. kak mara.. sakit banget..” hiru menubrukkan tubuhnya pada tubuh mara, kemudian menenggelamkan wajahnya didada mara, seketika wangi sabun menyeruak membuat hiru merasa bersalah.
“kakak tadi abis latihan basket langsung kesini ya? tapi kemarin katanya hari ini abis basket mau main sama kak aje, aku nyusahin ya?”
mara menatap hiru yang sedang mendongakkan kepalanya—dengan lembut. merasa lucu melihat hiru mengomel dengan mata sembab berair, bibir yang dikerucutkan. tapi bukan itu sekarang poinnya.
“engga kokkk, siapa yang bilang pacar aku nyusahin? mau aku pukul pake sendok sayurnya bunda sampe kepalanya monyong!”
“KAKAK MUKUL AKU DONG??!!!” jawab hiru sambil berteriak.
“ya kalo kamu sih ngga bakal digetok pake sendok sayur, tapi disayang sayang sama aku” balasan mara membuat hiru memekik malu. lalu hiru membawa mukanya yang nemerah karena malu, bersembunyi diperpotongan leher mara.
“GOMBAL AH”